Frits Saikat Aktivis Kemanusiaan
Bekasi || mediagardakeadilannews.com
Penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Kota Bekasi kembali menjadi sorotan. Pemerintah kota berdalih bahwa langkah ini perlu untuk menegakkan peraturan daerah dan menjaga ketertiban ruang publik. Namun, di balik niat tersebut, banyak pelaku UMKM yang terdampak secara langsung dan merasa disingkirkan dari ruang hidup ekonominya.
PKL bukan sekadar pelanggar tata kota. Mereka adalah bagian penting dari ekonomi mikro dan penyangga kehidupan warga berpenghasilan rendah. Ketika mereka digusur tanpa solusi nyata, maka yang hilang bukan hanya lapak, tetapi penghidupan keluarga.
Kebijakan penertiban yang dilakukan secara terburu-buru dan minim kajian sosial berisiko menimbulkan ketimpangan baru. Tidak semua pelaku PKL mendapatkan kejelasan mengenai relokasi, bantuan modal, atau alternatif tempat usaha yang layak.
Seharusnya, pemerintah kota tidak hanya fokus pada penegakan aturan, tetapi juga pada keberpihakan sosial. Penataan kota harus dilakukan dengan pendekatan humanis dan partisipatif, bukan semata-mata penertiban secara represif.
Ada beberapa langkah solutif yang bisa ditempuh:
*Kajian Sosial-Ekonomi* yang menyeluruh sebelum penertiban dilakukan.
*Relokasi yang layak dan transparan,* dengan fasilitas pendukung yang memadai.
*Bantuan permodalan dan pendampingan usaha* bagi pelaku UMKM yang terdampak.
*Sosialisasi dan komunikasi yang terbuka*, melibatkan masyarakat sebagai mitra, bukan objek kebijakan.
Menata kota memang penting, tapi lebih penting lagi adalah menata keadilan. Ketertiban yang dibangun tanpa empati hanya akan menumbuhkan ketegangan dan ketidakpercayaan. Pemerintah Kota Bekasi perlu mengingat bahwa pembangunan sejati adalah yang berpihak kepada yang lemah.
Sudah saatnya kebijakan publik dirancang bukan hanya untuk tertibnya kota, tapi juga untuk tegaknya keadilan sosial.
(Redaksi)